A. Latar Belakang
Menurut
The State of Fisheries and Aquaculture 2008, FAO melaporkan bahwasanya kegiatan
Aquaculture dunia meningkat dari tahun 2002-2006. Kontribusi kegiatan budidaya
sekitar 46 % dari produksi total perikanan dunia. Fenomena lain menunjukkan
kegiatan penangkapan mulai menurun dari waktu kewaktu. Produksi ikan tangkap
mulai menurun dikarenakan beberapa faktor diantarannya sumber daya ikan yang
mulai sedikit dan adanya over fishing diberbagai perairan dunia. Di
Indonesia sendiri kegiatan budidaya mulai mengalai peningkatan yang cukup
signifikan.
Kegiatan
budidaya khususnya di Indonesia terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan
pasar yang terus meningkat. Maka dari itu, penerapan sistem budidaya intensif
dan ramah lingkungan sangat diperlukan guna meningkatkan produksi.
Permasalahan utama dalam akuakultur sistem intensif telah menarik
perhatian tidak hanya para pelaku kegiatan akuakultur tetapi juga para stakeholder
lainnya seperti para pemerhati lingkungan (Allsopp et al., 2008).
Lebih jauh lagi, penerapan best aquaculture practices dalam sertifikasi
produk akuakultur yang diekspor, mensyaratkan praktek akuakultur yang ramah
lingkungan. Sehingga perkembangan teknologi akuakultur saat ini difokuskan pada
pemecahan masalah tersebut di atas. Menurut Anonim (2012) Biofloc adalah
pemanfaatan bakteri pembentuk flok (flocs forming bacteria) untuk pengolahan limbah.
Investigasi pertama terhadap penerapan Biofloc/activated sludge adalah sejak
tahun 1941 pada pengolahan air limbah di Amerika, untuk mensubtitusi penggunaan
plankton pada tahap treatment biologi yang dinilai lamban dalam uptake nutrien
dan oksidasi nitrogen (ammonia, nitrit ) serta ketidakstabilannya dalam proses.
Perkembangan yang sama terjadi pada industri akuakultur, penerapan BFT ( Bio
Flock Technology ) mulai digunakan menggantikan sistem RAS ( Recirculating
Aquaculture System ) yang menggunakan pengenceran air yang banyak untuk
pengenceran plankton.
B. Tujuan
1. Mengetahui
penerapan teknologi biofloc untuk budidaya intensif yang ramah lingkungan
2. Mengetahui
penerapan budiya dengan sistem bifloc untuk meningkatkan produksi dan memperbaiki
kualitas air.
C. Manfaat
Manfaat dari seminar ini adalah agar dapat
mengetahui bagaimana penerapan system budidaya ikan dengan teknik biofloc yang
ramah lingkungan
D. Metodologi
Metode yang digunakan dalam seminar ini dengan
menggunakan metode tinjauan pustaka. Dengan cara mencari jurnal-jurnal,
literatur, buku dan sebagainya.
II. PEMBAHASAN
A. Nitrogen dalam
sistem akuakultur
Nitrogen dalam
sistem akuakultur terutama berasal dari pakan buatan yang biasanya mengandung
protein dengan kisaran 13 - 60% (2 - 10% N) tergantung pada kebutuhan dan
stadia organisme yang dikultur (Avnimeleeh & Ritvo, 2003; Gross & Boyd
2000; Stickney, 2005). Dari total protein yang masuk ke dalam sistem budidaya,
sebagian akan dikonsumsi oleh organisme budidaya dan sisanya terbuang ke dalam
air. Protein dalam pakan akan dicerna namun hanya 20 - 30% dari total nitrogen
dalam pakan dimanfaatkan menjadi biomasa ikan (Brune et al., 2003).
Katabolisme protein dalam tubuh organisme akuatik menghasilkan ammonia sebagai
hasil akhir dan diekskresikan dalam bentuk ammonia (NH3) tidak terionisasi
melalui insang (Ebeling et al., 2006; Hargreaves, 1998). Pada saat yang
sama, bakteri memineralisasi nitrogen organik dalam pakan yang tidak termakan
dan feses menjadi ammonia (Gross and Boyd, 2000).
B. Teknologi
Bioflok
Bioflok atau
Flok merupakan istilah bahasa slang dari istilah bahasa baku “Activated
Sludge” (“Lumpur Aktif”) yang diadopsi dari proses pengolahan biologis air
limbah (biological wastewater treatment ). Investigasi pertama terhadap
penerapan Biofloc/activated sludge adalah sejak tahun 1941 pada pengolahan air
limbah di Amerika, untuk mensubtitusi penggunaan plankton pada tahap treatment
biologi yang dinilai lamban dalam uptake nutrien dan oksidasi nitrogen (ammonia,
nitrit ) serta ketidakstabilannya dalam proses. Perkembangan yang sama terjadi
pada industri akuakultur, penerapan BFT ( Bio Floc Technology ) mulai digunakan
menggantikan sistem RAS ( Recirculating Aquaculture System ) yang menggunakan
pengenceran air yang banyak untuk pengenceran plankton. (Anonim, 2012)
Tidak semua bakteri dapat membentuk bioflocs dalam
air, seperti dari genera Bacillus hanya dua spesies yang mampu membentuk
bioflocs. Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflocs adalah kemampuannya
untuk mensintesa senyawa Poli hidroksi alkanoat ( PHA ), terutama yang spesifik
seperti poli β‐hidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk
pembentukan ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk bioflocs.
Bioflocs terdiri atas partikel serat organik yang kaya akan selulosa, partikel
anorganik berupa kristal garam kalsium karbonat hidrat, biopolymer (PHA),
bakteri, protozoa, detritus (dead body cell), ragi, jamur dan zooplankton.
Bakteri yang mampu membentuk
bioflocs diantaranya:
-
Zooglea ramigera
-
Escherichia intermedia
-
Paracolobacterium aerogenoids
-
Bacillus subtilis
-
Bacillus cereus
-
Flavobacterium
-
Pseudomonas alcaligenes
-
Sphaerotillus natans
-
Tetrad dan Tricoda
Teknologi bioflok merupakan salah satu alternatif
baru dalam mengalasi masalah kualitas air dalam akuakultur yang diadaptasi dari
teknik pcngolahan limbah domestik secara konvensional (Avnimelech, 2006; de
Schryver et al., 2008). Prinsip utama yang diterapkan dalam teknologi
ini adalah manajemen kualitas air yang didasarkan pada kemampuan bakteri
heterotrof untuk memanfaatkan N organik dan anorganik yang terdapat di dalam
air. Secara teoritis, pemanfaatan N oleh bakteri heterotrof dalam sistem
akuakultur disajikan dalam reaksi kimia berikut (Ebeling et al., 2006):
C5H7O2N +
6.06H2O + 3.07CO2 "NH4+ + 1.18C6H12O6 + HC03- + 2.06O2
Melihat persamaan tersebut maka secara teoritis
untuk mengkonversi setiap gram N dalam bentuk ammonia, diperlukan 6,07 g karbon
organik dalam bentuk karbohidrat, 0,86 karbon anorganik dalam bentuk
alkalinitas dan 4,71 g oksigen terlarut. Dari persamaan ini juga diperoleh
bahwa rasio C/N yang diperlukan oleh bakteri heterotrof adalah sekitar 6.
C. Aplikasi
teknologi bioflok dalam akuakultur
1. Aplikasi
Kemampuan
bioflok dalam mengontrol konsentrasi ammonia dalam sistem akuakultur secara
teoritis maupun aplikasi telah terbukti sangat tinggi. Secara teoritis Ebeling et
al. (2006) dan Mara (2004) menyatakan bahwa immobilisasi ammonia oleh
bakteri heterotrof 40 kali lebih cepat daripada oleh bakteri nitrifikasi.
Secara aplikasi de Schryver et al. (2009) menemukan bahwa bioflok yang
ditumbuhkan dalam bioreaktor dapat mengkonversi N dengan konsentrasi 110 mg
NH4/L hingga 98% dalam sehari.
2. Pembentukan
Biofloc
Pembibitan bioflocs skala kecil dilakukan secara in
door, dalam wadah fermentasi tertentu baik dalam drum atau bak fiber. Ke dalam
air bersih ( tawar atau asin ) ditambahkan pakan udang dengan konsentrasi 1% ,
berikut 1% nutrient bakteri yang berupa campuran buffer pH, osmoregulator
berupa garam isotonik, vitamin B1, B6, B12 , hormon pembelahan sel dan
precursor aktif yang merangsang bakteri untuk mengeluarkan secara intensif
enzim, metabolit sekunder dan bakteriosin selama fermentasi berlangsung
(nutrient Bacillus spp. 1strain®) serta bibit bakteri baik dari isolat lokal
atau bakteri produk komersil berbasis Bacillus spp. yang pasti diketahui
mengandung paling tidak bacillus subtilis, sebagai salah satu bakteri pembentuk
bioflocs. Campuran diaerasi dan diaduk selama 24‐48 jam, diusahakan pH bertahan
antara 6,0 ‐7,2 sehingga bacillus tetap dalam fasa vegetatifnya, bukan dalam bentuk
spora dan PHA tidak terhidolisis oleh asam, sehingga ukuran partikel bioflocs
yang dihasilkan berukuran besar, paling tidak berukuran sekitar 100 μm (Anonim,
2012).
3. Kondisi yang mendukung pembentukan Bioflocs
a. Aerasi dan pengadukan (pergerakan air oleh aerator)
Oksigen jelas diperlukan untuk
pengoksidasian bahan organik (COD/BOD), kondisi optimum sekitar 4‐5 ppm oksigen
terlarut. Pergerakan air harus sedemikian rupa, sehingga daerah mati arus
(death zone) tidak terlalu luas, hingga daerah yang memungkinkan bioflocs jatuh
dan mengendap relatif kecil.
b. Karbon dioksida (CO2)
Karbon dioksida menjadi salah satu kunci terpenting
bagi pembentukan dan pemeliharaan bioflocs. Bakteri gram negatif non pathogen
seperti bakteri pengoksidasi sulfide menjadi sulfat ( Thiobacillus,
photosynthetic bacteria seperti Rhodobacter), bakteri pengoksidasi besi dan
Mangan ( Thiothrix ) dan bakteri pengoksidasi ammonium dan ammonia (
Nitrosomonas dan Nitrobacter ) memerlukan karbon dioksida untuk pembentukan
selnya, mereka tidak mampu mengambil sumber karbon dari bahan organic semisal
karbohidrat, protein atau lemak. Termasuk juga Zooglea, Flavobacterium,
tetrad/tricoda dan bakteri pembentuk bioflocs lainnya. Bahkan Bacillus sendiri,
sebagai pemanfaat karbon dari bahan organik dan menghasilkan gas karbon
dioksida sebagai hasil oksidasinya, memerlukan karbondioksida dalam pernafasan
anaerobnya ketika melangsungkan reaksi denitrifikasi.
Penerapan budidaya intensif
dengan teknologi bioflok menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok. Penerapan
budidaya nila dengan teknologi bioflok dari grafik diatas menggambarkan
bahwasanya pemberian kanji sebagai bahan pembentuk flok sangat mempengaruhi
kualitas air. Terlihat dari grafik 1 bahwasanya formulasi pakan dengan adar
protein 23% dengan penambahan tepung kanji 5% menghasilkan kandungan nitrogen
yang paling rendah jika dibanding kan dengan perlakuan lain. Perlakuan
pemberian pakan dengan protein 30% tanpa adanya tambahan tepung kanji
menunjukkan hasil yang paling rendah dimana kandungan nitrogen dalam perairan
paling tinggi yaitu sebesar 30 mg/ml. (Avnimelech
et al, 2009)
BIOFLOC ATAU
FLOK DALAM PERIKANAN BUDIDAYA
Biofloc berasal dari dua
kata yaitu Bio “kehidupan” dan Floc “gumpalan”. Sehingga biofloc dapat
diartikan sebagai bahan organik hidup yang menyatu menjadi gumpalan-gumpalan.
Gumpalan tersebut terdiri dari berbagai mikroorganisme air termasuk bakteri,
algae, fungi, protozoa, metazoa, rotifera, nematoda, gastrotricha dan organisme
lain yang tersuspensi dengan detritus. Ada yang bilang bahwa biofloc adalah
suatu bentuk ikatan oleh mikroorganisme pada saat tumbuh dimana aktivitas pengikatan ini tergantung pada jenis
mikroorganismenya.
Biofloc merupakan flok atau gumpalan-gumpalan kecil yang tersusun dari sekumpulan mikroorganisme hidup yang melayang-layang di air.
Teknologi biofloc adalah teknologi yang memanfaatkan aktivitas mikroorganisme yang membentuk flok. Aplikasi BFT (Bio Floc Technology) banyak diaplikasikan disistem pengolahan air limbah industri dan mulai diterapkan di sistem pengolahan air media aquakultur.
Prinsip Dasar Biofloc Mengubah senyawa organik dan anorganik yang mengandung senyawa kabon (C), hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N) dengan sedikit available posfor (P) menjadi massa sludge berupa bioflocs dengan menggunakan bakteri pembentuk flocs (flocs forming bacteria) yang mensintesis biopolimer poli hidroksi alkanoat sebagai ikatan bioflocs.
Bakteri pembentuk flocs dipilih dari genera bakteri yang non pathogen, memiliki kemampuan mensintesis PHA, memproduksi enzim ekstraselular, memproduksi bakteriosin terhadap bakteri pathogen, mengeluarkan metabolit sekunder yang menekan pertumbuhan dan menetralkan toksin dari plankton merugikan dan mudah dibiakkan di lapangan. Tidak semua bakteri dapat membentuk biofloc dalam air, seperti dari genera Bacillus sp hanya dua spesies yang mampu membentuk biofloc.
Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflocs adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli hidroksi alkanoat (PHA), terutama yang spesifik seperti poli β‐hidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk biofloc. Biofloc terdiri atas partikel serat organik yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium karbonat hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead body cell), ragi, jamur dan zooplankton (www.aiyushirota.com).
Bakteri yang mampu membentuk bioflocs diantaranya:
· Bacillus cereus
· Bacillus subtilis
· Escherichia intermedia
· Flavobacterium
· Paracolobacterium aerogenoids · Pseudomonas alcaligenes
· Sphaerotillus natans
· Tetrad dan Tricoda
· Zooglea ramigera
Beberapa bakteri pembentuk floc yang sudah teruji diaplikasikan dilapangan adalah
- Achromobacter liquefaciens,
- Arthrobacter globiformis,
- Agrobacterium tumefaciens dan
- Pseudomonas alcaligenes.
Bakteri lain dapat ikut membentuk biofloc setelah exopolisakarida dibentuk oleh bakteri pembentuk floc sebagai inti floc-nya.
Bakteri yang dapat ikut membentuk biofloc misalnya Bacillus circulans, Bacillus coagulans dan Bacillus licheniformis. Bakteri yang ikut membentuk floc ini mempunyai fungsi dalam siklus nutrisi didalam sistem biofloc. Bakteri ini disebut sebagai bakteri siklus fungsional, misalnya Bacillus licheniformis yang berperan dalam siklus nitrogen.
Biofloc di alam umumnya terdiri dari 5 jenis bakteri atau lebih, minimal satu atau lebih merupakan bakteri pembentuk flok (penghasil exopolisakarida) dan bakteri yang lain dapat merupakan bakteri siklus fungsional yang berfungsi dalam siklus bioremediasi dan nutrisi. Formasi bioflok ini terbentuk tidak secara tiba-tiba, tapi terbentuk dalam kondisi lingkungan tertentu.
Factor yang mempengaruhi system bioflok adalah N/P rasio dan C/N rasio. N/P rasio dan C/N rasio harus diatas 20. Semakin besar N/P rasio dan C/N rasio maka floc yang terbentuk akan semakin baik. Untuk mengatur N/P rasio jalan terbaik adalah memperbesar N atau memperkecil P, untuk memperbesar N dilingkungan tambak tidak mungkin dilakukan karena menambah ammonia dalam tambak akan membahayakan udang, jalan terbaik adalah memperkecil P dengan cara mengikat phosphate.
Sedangkan untuk mengatur C/N rasio dilakukan dengan cara memperbesar C dengan penambahan unsure karbon organik, misalnya molasses. Didalam pakan itu sendiri sebenarnya sudah ada unsure C yaitu karbohidrat dan lemak, namun rasionya tidak mencukupi untuk mencapai C/N rasio diatas 20.
Sistem biofloc dapat meminimalkan ganti air karena dalam bioflok terdapat proses siklus “auto pemurnian air” (self purifier) yang akan merubah sisa pakan dan kotoran, gas beracun seperti ammonia dan nitrit menjadi senyawa yang tidak berbahaya. Dengan meminimalkan ganti air maka peluang masuknya bibit penyakit dari luar dapat diminimalkan. Sistem biofloc lebih stabil dibandingkan dengan system probiotik biasa dikarenakan biofloc merupakan bakteri yang tidak berdiri sendiri, melainkan berbentuk floc atau kumpulan beberapa bakteri pembentuk floc yang saling bersinergi. Sedangkan system probiotik biasa bakteri yang ada ditambak merupakan sel-sel bakteri yang berdiri sendiri secara terpisah di air, sehingga apabila ada gangguan lingkungan atau gangguan bakteri lain maka bakteri akan cepat kolaps.
Pada System Bio-Flock Technology (BFT) sangat tergantung pada :
· Mikroba (terutama bakteri heterotrof)
· Plankton
· Bahan organik dalam air
Indikator Keberhasilan Pembentukan Biofloc (www.aiyushirota.com)
Biofloc terbentuk, jika secara visual di dapat warna air kolam coklat muda (krem) berupa gumpalan yang bergerak bersama arus air. pH air cenderung di kisaran 7 (7,2-7,8) dengan kenaikan pH pagi dan sore yang kecil rentangnya kecil yaitu (0,02-0,2). Mulai terjadi penaikan dan penurunan yang dinamis nilai NH4+, ion NO2‐ dan ion NO3‐ sebagai indikasi berlangsungnya proses Nitrifikasi dan Denitrifikasi. Untuk 30 hari pertama DOC merupakan masa krusial bagi tahap pembentukan Bioflocs, penerapan “minimal exchange water” pada fase ini sangat menentukan. Lebih baik menghindari penggantian air dalam jumlah besar pada masa ini. Penambahan air hanya untuk penggantian susut karena penguapan dan perembesan saja. Atau menambah secara perlahan ketinggian air dari awal tebar 120 cm menjadi 150 cm secara bertahap selama 30 hari.
Permasalahan dalam Sistem Biofloc (www.aiyushitota.com)
a) Flocs di kolam berbusa
Hal ini disebabkan oleh adanya bakteri berfilamen yang menempel pada biofloc.
Untuk itu ditebar 10 ppm Kalsium peroksida, ikuti dengan menahan pergantian air selama 5‐6 hari sambil dilakukan penambahan 20 ppm CaCO3/ kaptan per harinya, jika pada hari ke 6 busa masih ada, tebar 10 ppm Kalsium Peroksida lagi, pada hari ke 7 air mulai dimasukkan ke dalam kembali, dan ketinggian air dipulihkan ke ketinggian semula.
b) Biofloc terlalu pekat
Lakukan pengenceran secara over flow, pipa pengeluaran dipotong sama rata dengan ketinggian air di dalam kolam. Biarkan air yang masuk menyebabkan air tumpah keluar lewat pipa pembuangan yang telah dipotong sama rat dengan ketinggian air di dalam kolam.
c) Biofloc ketebalannya berkurang (normal 10‐20 cm sechi disk) dan warna air mengarah ke hijau
Hentikan pengenceran, tahan air selama 5‐6 hari, aplikasikan pupuk ZA 1 ppm setiap harinya untuk menekan pertumbuhan chrollera atau aplikasikan pupuk ZA 5 ppm setiap harinya untuk menekan pertumbuhan blue green algae. Pada hari ke 7 sirkulasi/ pengenceran secara over flow dapat dilakukan kembali.
d) Biofloc ketebalannya berkurang (normal 10‐20 cm sechi disk) dan warna air mengarah ke coklat merah
Hentikan pengenceran, tahan air selama 5‐6 hari, aplikasikan CaCO3 / kaptan 20 ppm setiap harinya dan 1‐2 x treatment dengan Kalsium peroksida. Pada hari ke 7 sirkulasi/pengenceran secara over flow dapat dilakukan kembali.
e) Warna hijau biru (BGA) atau merah (Dinoflagellata) tetap ada setelah 5‐6 hari
Treatment Berlakukan pola sistem “minimal exchange water” terhadap kolam tersebut, hindari pengenceran/ sirkulasi. Penambahan air hanya dilakukan untuk mengganti air yang hilang/susut akibat penguapan, perembesan dan susut air akibat pembuangan lumpur rutin harian saja
Budidaya Udang System Semibioflock
• Budidaya dengan sistem Bio-Floc adalah mengembangkan komunitas bakteri di dalam tambak
• Menumbuhkan dan menjaga dominasi bakteri di dalam tambak adalah lebih stabil daripada dominasi algae (plankton) karena tidak tergantung sinar matahari
• Kualitas air lebih stabil sehingga penggunaan air sedikit (hanya nambah) karena ada pembuangan
lumpur
• Dapat menekan pertumbuhan mikroba patogen
• Bakteri terkumpul dalam suatu gumpalan yang disebut Floc
• Semakin banyak floc yang terbentuk akan semakin besar pula perannya dalam merombak limbah nitrogen 10 – 100x lebih efisien daripada algae
• Dapat bekerja siang maupun malam dan dipengaruhi cuaca
• Dapat merubah limbah nitrogen menjadi makanan berprotein tinggi bagi ikan dan udang
Komposisi Mikrobial Biofloc
Komposisi Kadar Rata-rata
- Protein 31,5% - 22,5%
- Bahan Organik 78 %- 66% 72 %
- Abu 21 % - 32 % 26 %
- Protein 51 % - 35 % 43 %
- Lemak 10 % - 15 % 12,5 %
- Arginine 2,3 % - 1,61 % 1,95 %
- Methionine 0,61 % - 0,35 % 0,48 %
- Lysine 2,5 - 1,7 2,1 Sumber : (McIntosh, 2000)
Komposisi Nutrient Mikroba Biofloc
Nutrient Kisaran Mean Suspended
- microbial floc (mg/l) 87,3 – 200,8 157
- Moisture (%) 5,9 – 7,3 6,6
- Crude protein (Nx6,25)(%) 29,2 – 34,3 31,2
- Crude lipid (%) 2,5 – 2,6 2,6 -
- Cholesterol (mg/ kg) 470 – 490 480
- Ash (%) 25,5 – 31,8 28,2
- Gross energy (MJ/kg) 10,3 - 12,8 12
- Sodium (%) 0,41 - 4,31 2,75
- Calcium (%) 0,56 - 2,86 1,70
- Phosphorus (%) 0,36 - 2,12 1,35
- Potassium (%) 0,13 - 0,89 0,64
- Magnesium (%) 0,12 - 0,45 0,26
- Zinc (mg/kg) 78,3 - 577,9 338
- Iron (mg/kg) 170,8 - 521,0 320
- Manganese (mg/kg) 8,9 - 46,8 28,5
- Boron (mg/kg) 8,8 - 45,7 27,3
- Copper (mg/kg) 3,8 - 88,6 22,8 Sumber : (Tacon, 2002)
Komposisi Asam Amino Mikroba Biofloc
Asam Amino Kisaran Rata- Rata
- Methionine + Cystine (%) 0,86 – 0,93 0,89
- Phenylalanine + Tyrosine (%) 2,41 – 2,54 2,48
- Isoleucine (%) 1,21 – 1,26 1,24
- Leucine (%) 1,78 – 1,97 1,87
- Histidine (%) 0,43 – 0,45 0,44
- Threonine (%) 1,44 – 1,50 1,47
- Lysine (%) 0,90 – 0,96 0,93
- Valine (%) 1,66 – 1,80 1,73
- Arginine (%) 1,46 – 1,63 1,54
- Tryptophan (%) 0,18 – 0,22 0,20
- Total essential amino acids 24,5 – 26,3 25,4 Sumber : (Tacon, 2002)
Mikroba Biofloc dapat Digunakan sebagai Pakan.
Hal ini dikarenakan :
• Mengandung nutrien yang cukup tinggi seperti protein dan mineral
• Tidak memerlukan pakan yang memiliki protein tinggi
• Dapat menghemat pakan dan menurunkan nilai FCR pakan
Hal-hal yang perlu Diperhatikan dalam Sistem Biofloc
• Bahan organik harus cukup (TOC > 100 mgC/L) dan selalu teraduk
• Nitrogen disintesis menjadi mikrobial protein dan dapat dimakan langsung oleh udang dan ikan
• Perlu disuplay C organik (molase, tepung terigu, tepung tapioka) secara kontinue atau sesuai dgn amonia dalam air
• Oksigen harus cukup serta alkalinitas dan pH harus terus dijaga Keuntungan Sistem Biofloc (Suprapto, 2007)
• pH relatif stabil
• pH nya cenderung rendah, sehingga kandungan amoniak (NH3) relatif kecil
• Tidak tergantung pada sinar matahari dan aktivitasnya akan menurun bila suhu rendah.
• Tidak perlu ganti air (sedikit ganti air) sehingga biosecurity (keamanan) terjaga
• Limbah tambak (kotoran, algae, sisa pakan, amonia) didaur ulang dan dijadikan makanan alami berprotein tinggi
• Lebih ramah lingkungan.
Kekurangan Sistem Biofloc (Suprapto, 2007)
• Tidak bisa diterapkan pada tambak yang bocor/rembes karena tidak ada/sedikit pergantian air
• Memerlukan peralatan/aerator cukup banyak sebagai suply oksigen
• Aerasi harus hidup terus (24 jam/ hari)
• Pengamatan harus lebih jeli dan sering muncul kasus Nitrit dan Amonia
• Bila aerasi kurang, maka akan terjadi pengendapan bahan organik. Resiko munculnya H2S lebih tinggi karena pH airnya lebih rendah.
• Kurang cocok untuk tanah yang mudah teraduk (erosi). Jadi dasar harus benar-benar kompak (dasar berbatu / sirtu, semen atau plastik HDPE)
• Bila terlalu pekat, maka dapat menyebabkan kematian bertahap karena krisis oksigen (BOD tinggi).
• Untuk itu volume Suspended Solid dari floc harus selalu diukur.Bila telah mencapai batas tertentu, floc harus dikurangi dengan cara konsumsi pakan diturunkan.
Daftar Pustaka :
Indonesianaquaculture.
Biofloc merupakan flok atau gumpalan-gumpalan kecil yang tersusun dari sekumpulan mikroorganisme hidup yang melayang-layang di air.
Teknologi biofloc adalah teknologi yang memanfaatkan aktivitas mikroorganisme yang membentuk flok. Aplikasi BFT (Bio Floc Technology) banyak diaplikasikan disistem pengolahan air limbah industri dan mulai diterapkan di sistem pengolahan air media aquakultur.
Prinsip Dasar Biofloc Mengubah senyawa organik dan anorganik yang mengandung senyawa kabon (C), hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N) dengan sedikit available posfor (P) menjadi massa sludge berupa bioflocs dengan menggunakan bakteri pembentuk flocs (flocs forming bacteria) yang mensintesis biopolimer poli hidroksi alkanoat sebagai ikatan bioflocs.
Bakteri pembentuk flocs dipilih dari genera bakteri yang non pathogen, memiliki kemampuan mensintesis PHA, memproduksi enzim ekstraselular, memproduksi bakteriosin terhadap bakteri pathogen, mengeluarkan metabolit sekunder yang menekan pertumbuhan dan menetralkan toksin dari plankton merugikan dan mudah dibiakkan di lapangan. Tidak semua bakteri dapat membentuk biofloc dalam air, seperti dari genera Bacillus sp hanya dua spesies yang mampu membentuk biofloc.
Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflocs adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli hidroksi alkanoat (PHA), terutama yang spesifik seperti poli β‐hidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk biofloc. Biofloc terdiri atas partikel serat organik yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium karbonat hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead body cell), ragi, jamur dan zooplankton (www.aiyushirota.com).
Bakteri yang mampu membentuk bioflocs diantaranya:
· Bacillus cereus
· Bacillus subtilis
· Escherichia intermedia
· Flavobacterium
· Paracolobacterium aerogenoids · Pseudomonas alcaligenes
· Sphaerotillus natans
· Tetrad dan Tricoda
· Zooglea ramigera
Beberapa bakteri pembentuk floc yang sudah teruji diaplikasikan dilapangan adalah
- Achromobacter liquefaciens,
- Arthrobacter globiformis,
- Agrobacterium tumefaciens dan
- Pseudomonas alcaligenes.
Bakteri lain dapat ikut membentuk biofloc setelah exopolisakarida dibentuk oleh bakteri pembentuk floc sebagai inti floc-nya.
Bakteri yang dapat ikut membentuk biofloc misalnya Bacillus circulans, Bacillus coagulans dan Bacillus licheniformis. Bakteri yang ikut membentuk floc ini mempunyai fungsi dalam siklus nutrisi didalam sistem biofloc. Bakteri ini disebut sebagai bakteri siklus fungsional, misalnya Bacillus licheniformis yang berperan dalam siklus nitrogen.
Biofloc di alam umumnya terdiri dari 5 jenis bakteri atau lebih, minimal satu atau lebih merupakan bakteri pembentuk flok (penghasil exopolisakarida) dan bakteri yang lain dapat merupakan bakteri siklus fungsional yang berfungsi dalam siklus bioremediasi dan nutrisi. Formasi bioflok ini terbentuk tidak secara tiba-tiba, tapi terbentuk dalam kondisi lingkungan tertentu.
Factor yang mempengaruhi system bioflok adalah N/P rasio dan C/N rasio. N/P rasio dan C/N rasio harus diatas 20. Semakin besar N/P rasio dan C/N rasio maka floc yang terbentuk akan semakin baik. Untuk mengatur N/P rasio jalan terbaik adalah memperbesar N atau memperkecil P, untuk memperbesar N dilingkungan tambak tidak mungkin dilakukan karena menambah ammonia dalam tambak akan membahayakan udang, jalan terbaik adalah memperkecil P dengan cara mengikat phosphate.
Sedangkan untuk mengatur C/N rasio dilakukan dengan cara memperbesar C dengan penambahan unsure karbon organik, misalnya molasses. Didalam pakan itu sendiri sebenarnya sudah ada unsure C yaitu karbohidrat dan lemak, namun rasionya tidak mencukupi untuk mencapai C/N rasio diatas 20.
Sistem biofloc dapat meminimalkan ganti air karena dalam bioflok terdapat proses siklus “auto pemurnian air” (self purifier) yang akan merubah sisa pakan dan kotoran, gas beracun seperti ammonia dan nitrit menjadi senyawa yang tidak berbahaya. Dengan meminimalkan ganti air maka peluang masuknya bibit penyakit dari luar dapat diminimalkan. Sistem biofloc lebih stabil dibandingkan dengan system probiotik biasa dikarenakan biofloc merupakan bakteri yang tidak berdiri sendiri, melainkan berbentuk floc atau kumpulan beberapa bakteri pembentuk floc yang saling bersinergi. Sedangkan system probiotik biasa bakteri yang ada ditambak merupakan sel-sel bakteri yang berdiri sendiri secara terpisah di air, sehingga apabila ada gangguan lingkungan atau gangguan bakteri lain maka bakteri akan cepat kolaps.
Pada System Bio-Flock Technology (BFT) sangat tergantung pada :
· Mikroba (terutama bakteri heterotrof)
· Plankton
· Bahan organik dalam air
Indikator Keberhasilan Pembentukan Biofloc (www.aiyushirota.com)
Biofloc terbentuk, jika secara visual di dapat warna air kolam coklat muda (krem) berupa gumpalan yang bergerak bersama arus air. pH air cenderung di kisaran 7 (7,2-7,8) dengan kenaikan pH pagi dan sore yang kecil rentangnya kecil yaitu (0,02-0,2). Mulai terjadi penaikan dan penurunan yang dinamis nilai NH4+, ion NO2‐ dan ion NO3‐ sebagai indikasi berlangsungnya proses Nitrifikasi dan Denitrifikasi. Untuk 30 hari pertama DOC merupakan masa krusial bagi tahap pembentukan Bioflocs, penerapan “minimal exchange water” pada fase ini sangat menentukan. Lebih baik menghindari penggantian air dalam jumlah besar pada masa ini. Penambahan air hanya untuk penggantian susut karena penguapan dan perembesan saja. Atau menambah secara perlahan ketinggian air dari awal tebar 120 cm menjadi 150 cm secara bertahap selama 30 hari.
Permasalahan dalam Sistem Biofloc (www.aiyushitota.com)
a) Flocs di kolam berbusa
Hal ini disebabkan oleh adanya bakteri berfilamen yang menempel pada biofloc.
Untuk itu ditebar 10 ppm Kalsium peroksida, ikuti dengan menahan pergantian air selama 5‐6 hari sambil dilakukan penambahan 20 ppm CaCO3/ kaptan per harinya, jika pada hari ke 6 busa masih ada, tebar 10 ppm Kalsium Peroksida lagi, pada hari ke 7 air mulai dimasukkan ke dalam kembali, dan ketinggian air dipulihkan ke ketinggian semula.
b) Biofloc terlalu pekat
Lakukan pengenceran secara over flow, pipa pengeluaran dipotong sama rata dengan ketinggian air di dalam kolam. Biarkan air yang masuk menyebabkan air tumpah keluar lewat pipa pembuangan yang telah dipotong sama rat dengan ketinggian air di dalam kolam.
c) Biofloc ketebalannya berkurang (normal 10‐20 cm sechi disk) dan warna air mengarah ke hijau
Hentikan pengenceran, tahan air selama 5‐6 hari, aplikasikan pupuk ZA 1 ppm setiap harinya untuk menekan pertumbuhan chrollera atau aplikasikan pupuk ZA 5 ppm setiap harinya untuk menekan pertumbuhan blue green algae. Pada hari ke 7 sirkulasi/ pengenceran secara over flow dapat dilakukan kembali.
d) Biofloc ketebalannya berkurang (normal 10‐20 cm sechi disk) dan warna air mengarah ke coklat merah
Hentikan pengenceran, tahan air selama 5‐6 hari, aplikasikan CaCO3 / kaptan 20 ppm setiap harinya dan 1‐2 x treatment dengan Kalsium peroksida. Pada hari ke 7 sirkulasi/pengenceran secara over flow dapat dilakukan kembali.
e) Warna hijau biru (BGA) atau merah (Dinoflagellata) tetap ada setelah 5‐6 hari
Treatment Berlakukan pola sistem “minimal exchange water” terhadap kolam tersebut, hindari pengenceran/ sirkulasi. Penambahan air hanya dilakukan untuk mengganti air yang hilang/susut akibat penguapan, perembesan dan susut air akibat pembuangan lumpur rutin harian saja
Budidaya Udang System Semibioflock
• Budidaya dengan sistem Bio-Floc adalah mengembangkan komunitas bakteri di dalam tambak
• Menumbuhkan dan menjaga dominasi bakteri di dalam tambak adalah lebih stabil daripada dominasi algae (plankton) karena tidak tergantung sinar matahari
• Kualitas air lebih stabil sehingga penggunaan air sedikit (hanya nambah) karena ada pembuangan
lumpur
• Dapat menekan pertumbuhan mikroba patogen
• Bakteri terkumpul dalam suatu gumpalan yang disebut Floc
• Semakin banyak floc yang terbentuk akan semakin besar pula perannya dalam merombak limbah nitrogen 10 – 100x lebih efisien daripada algae
• Dapat bekerja siang maupun malam dan dipengaruhi cuaca
• Dapat merubah limbah nitrogen menjadi makanan berprotein tinggi bagi ikan dan udang
Komposisi Mikrobial Biofloc
Komposisi Kadar Rata-rata
- Protein 31,5% - 22,5%
- Bahan Organik 78 %- 66% 72 %
- Abu 21 % - 32 % 26 %
- Protein 51 % - 35 % 43 %
- Lemak 10 % - 15 % 12,5 %
- Arginine 2,3 % - 1,61 % 1,95 %
- Methionine 0,61 % - 0,35 % 0,48 %
- Lysine 2,5 - 1,7 2,1 Sumber : (McIntosh, 2000)
Komposisi Nutrient Mikroba Biofloc
Nutrient Kisaran Mean Suspended
- microbial floc (mg/l) 87,3 – 200,8 157
- Moisture (%) 5,9 – 7,3 6,6
- Crude protein (Nx6,25)(%) 29,2 – 34,3 31,2
- Crude lipid (%) 2,5 – 2,6 2,6 -
- Cholesterol (mg/ kg) 470 – 490 480
- Ash (%) 25,5 – 31,8 28,2
- Gross energy (MJ/kg) 10,3 - 12,8 12
- Sodium (%) 0,41 - 4,31 2,75
- Calcium (%) 0,56 - 2,86 1,70
- Phosphorus (%) 0,36 - 2,12 1,35
- Potassium (%) 0,13 - 0,89 0,64
- Magnesium (%) 0,12 - 0,45 0,26
- Zinc (mg/kg) 78,3 - 577,9 338
- Iron (mg/kg) 170,8 - 521,0 320
- Manganese (mg/kg) 8,9 - 46,8 28,5
- Boron (mg/kg) 8,8 - 45,7 27,3
- Copper (mg/kg) 3,8 - 88,6 22,8 Sumber : (Tacon, 2002)
Komposisi Asam Amino Mikroba Biofloc
Asam Amino Kisaran Rata- Rata
- Methionine + Cystine (%) 0,86 – 0,93 0,89
- Phenylalanine + Tyrosine (%) 2,41 – 2,54 2,48
- Isoleucine (%) 1,21 – 1,26 1,24
- Leucine (%) 1,78 – 1,97 1,87
- Histidine (%) 0,43 – 0,45 0,44
- Threonine (%) 1,44 – 1,50 1,47
- Lysine (%) 0,90 – 0,96 0,93
- Valine (%) 1,66 – 1,80 1,73
- Arginine (%) 1,46 – 1,63 1,54
- Tryptophan (%) 0,18 – 0,22 0,20
- Total essential amino acids 24,5 – 26,3 25,4 Sumber : (Tacon, 2002)
Mikroba Biofloc dapat Digunakan sebagai Pakan.
Hal ini dikarenakan :
• Mengandung nutrien yang cukup tinggi seperti protein dan mineral
• Tidak memerlukan pakan yang memiliki protein tinggi
• Dapat menghemat pakan dan menurunkan nilai FCR pakan
Hal-hal yang perlu Diperhatikan dalam Sistem Biofloc
• Bahan organik harus cukup (TOC > 100 mgC/L) dan selalu teraduk
• Nitrogen disintesis menjadi mikrobial protein dan dapat dimakan langsung oleh udang dan ikan
• Perlu disuplay C organik (molase, tepung terigu, tepung tapioka) secara kontinue atau sesuai dgn amonia dalam air
• Oksigen harus cukup serta alkalinitas dan pH harus terus dijaga Keuntungan Sistem Biofloc (Suprapto, 2007)
• pH relatif stabil
• pH nya cenderung rendah, sehingga kandungan amoniak (NH3) relatif kecil
• Tidak tergantung pada sinar matahari dan aktivitasnya akan menurun bila suhu rendah.
• Tidak perlu ganti air (sedikit ganti air) sehingga biosecurity (keamanan) terjaga
• Limbah tambak (kotoran, algae, sisa pakan, amonia) didaur ulang dan dijadikan makanan alami berprotein tinggi
• Lebih ramah lingkungan.
Kekurangan Sistem Biofloc (Suprapto, 2007)
• Tidak bisa diterapkan pada tambak yang bocor/rembes karena tidak ada/sedikit pergantian air
• Memerlukan peralatan/aerator cukup banyak sebagai suply oksigen
• Aerasi harus hidup terus (24 jam/ hari)
• Pengamatan harus lebih jeli dan sering muncul kasus Nitrit dan Amonia
• Bila aerasi kurang, maka akan terjadi pengendapan bahan organik. Resiko munculnya H2S lebih tinggi karena pH airnya lebih rendah.
• Kurang cocok untuk tanah yang mudah teraduk (erosi). Jadi dasar harus benar-benar kompak (dasar berbatu / sirtu, semen atau plastik HDPE)
• Bila terlalu pekat, maka dapat menyebabkan kematian bertahap karena krisis oksigen (BOD tinggi).
• Untuk itu volume Suspended Solid dari floc harus selalu diukur.Bila telah mencapai batas tertentu, floc harus dikurangi dengan cara konsumsi pakan diturunkan.
Daftar Pustaka :
Indonesianaquaculture.
www.aiyushirota.com.
Konsep Budidaya Udang Sistem Bakteri Heterotroph dengan Bioflocs. Suprapto. 2007.
Pemahaman Bio- Floc Technology : Teknik Budidaya alternatif. Disampaikan dalam Seminar Temu Akhir Tahun 2007.
Konsep Budidaya Udang Sistem Bakteri Heterotroph dengan Bioflocs. Suprapto. 2007.
Pemahaman Bio- Floc Technology : Teknik Budidaya alternatif. Disampaikan dalam Seminar Temu Akhir Tahun 2007.
http://zaedkfc.blogspot.com/2012/11/penerapan-teknologi-biofloc-dalam.html?spref=fb